AKIDAH POKOK DAN CABANGNYA
·
Pengertian Akidah Pokok dan
cabangnya
Yang dimaksud akidah pokok adalah Akidah umat Islam pada masa Nabi dan masa khalifah Abu Bakar As-Sidik dan Umar bin Khattab persoalan akidah masih dapat dipertahankan yaitu disebut Rukun Iman yang mencakup 6 aspek dalam pembahasan ini disebut dengan akidah Pokok yaitu sebagai berikut :
Yang dimaksud akidah pokok adalah Akidah umat Islam pada masa Nabi dan masa khalifah Abu Bakar As-Sidik dan Umar bin Khattab persoalan akidah masih dapat dipertahankan yaitu disebut Rukun Iman yang mencakup 6 aspek dalam pembahasan ini disebut dengan akidah Pokok yaitu sebagai berikut :
·
Iman Kepada Allah
Inti pokok dalam ajaran Islam dalam al-Qur'an adalah akidah. sedangkan inti dari akidah adalah tauhid yakni keyakinan bahwa Allah SWT. Maha Esa, tidak ada Tuhan selain-Nya.
Inti pokok dalam ajaran Islam dalam al-Qur'an adalah akidah. sedangkan inti dari akidah adalah tauhid yakni keyakinan bahwa Allah SWT. Maha Esa, tidak ada Tuhan selain-Nya.
Dalam rukun Iman, percaya
kepada Allah atau iman kepada Allah menempati urutan pertama. Yang dimaksud iman kepada Allah
ialah percaya sepenuhnya, tanpa keraguan sedikitpun, akan adanya Allah SWT.
Yang maha Esa dan Maha Sempurna, baik Zat, sifat maupun Af'al-Nya. Keyakinan
ini membawa seseorang kepada kepercayaan akan adanya para malaikat,
kitab-kitab, para Rasul atau Nabi, adanya hari kiamat dan kepercayaan tentang
takdir.
Allah telah mensifati diri-Nya dalam Al-Qur'an dengan lafal-lafal yang pada asalnya untuk mengindikasikan makna-makna bumi dan pengertian-pengertian manusia, sekalipun Allah itu tidak bisa diserupai oleh sesuatu pun. Adapun sifat-sifat Allah SWT terdapat 20 yang wajib dan 20 yang muhal bagim Allah serta 1 yang jaiz bagi Allah. Sifat-sifat yang wajib bagi Allah SWT adalah:
1. Ada (Al-Wujud)
2. Dahulu (Al-Qidam)
3. Kekal (Al-Baqa')
4. Berbeda dengan Mahluk Lain (Al-Mukhaalafatuhu lil Hawaadits)
5. Ada dengan sendirinya (Al-Qiyaamuhu bi Nafsihi)
6. Maha Esa/Tunggal (Al-Wahdaniyah)
7. Mahakuasa (القدرة)
8. Maha Berkehendak (الإرادة)
9. Maha Mengetahui (العلم)
10. Mahahidup (الحياة)
11. Maha Mendengar (السمع)
12. Maha Melihat (البصر)
13. Allah Maha Berkata (Al-Kalam)
14. Keadaan-Nya Maha Kuasa (Kaunuhu Qadiran)
15. Keadaan-Nya Maha Berkehendak (Kaunuhu Muridan)
16. Keadaan-Nya Maha Mengetahui (Kaunuhu 'Aliman)
17. Keadaan-Nya Mahahidup (Kaunuhu Hayyan)
18. Keadaan-Nya Maha Mendengar (Kaunuhu Sami'an)
19. Keadaan-Nya Maha Melihat (Kaunuhu Bashiran)
20. Keadan-Nya Maha Berbicara (Kaunuhu Mutakalliman)
Allah telah mensifati diri-Nya dalam Al-Qur'an dengan lafal-lafal yang pada asalnya untuk mengindikasikan makna-makna bumi dan pengertian-pengertian manusia, sekalipun Allah itu tidak bisa diserupai oleh sesuatu pun. Adapun sifat-sifat Allah SWT terdapat 20 yang wajib dan 20 yang muhal bagim Allah serta 1 yang jaiz bagi Allah. Sifat-sifat yang wajib bagi Allah SWT adalah:
1. Ada (Al-Wujud)
2. Dahulu (Al-Qidam)
3. Kekal (Al-Baqa')
4. Berbeda dengan Mahluk Lain (Al-Mukhaalafatuhu lil Hawaadits)
5. Ada dengan sendirinya (Al-Qiyaamuhu bi Nafsihi)
6. Maha Esa/Tunggal (Al-Wahdaniyah)
7. Mahakuasa (القدرة)
8. Maha Berkehendak (الإرادة)
9. Maha Mengetahui (العلم)
10. Mahahidup (الحياة)
11. Maha Mendengar (السمع)
12. Maha Melihat (البصر)
13. Allah Maha Berkata (Al-Kalam)
14. Keadaan-Nya Maha Kuasa (Kaunuhu Qadiran)
15. Keadaan-Nya Maha Berkehendak (Kaunuhu Muridan)
16. Keadaan-Nya Maha Mengetahui (Kaunuhu 'Aliman)
17. Keadaan-Nya Mahahidup (Kaunuhu Hayyan)
18. Keadaan-Nya Maha Mendengar (Kaunuhu Sami'an)
19. Keadaan-Nya Maha Melihat (Kaunuhu Bashiran)
20. Keadan-Nya Maha Berbicara (Kaunuhu Mutakalliman)
Dalam mengenal Allah SWT, manusia hanya mampu sampai batas memgetahui bahwa zat Tuhan Yang Maha Esa itu ada (wujud)” Tidak lebih dari itu. Untuk lebih lanjut manusia memerlukan wahyu sebagai petunjuk dari Tuhan. Sebab itulah, Tuhan mengutus para Rasul atau Nabi-Nya untuk menjelaskan apa dan bagaimana Tuhan itu dengan petunjuk wahyu.
Meskipun demikian,Nabi hanya menjelaskan bentuk sifat-sifat Allah yang maha kuasa dengan bukti keberadaan,keesaan,dan kekuasaan-Nya. Nabi sendiri dalam salah satu hadisnya menyatakan tidak diperkenankan-Nya memikirkan zat Allah,sebab tidak akan mencapai hakikat yang sebenarnya. Seorang mukmin hanya perlu berpikir mengenai apa yang telah diciptakan-Nya dan menghayati sepenuhnya akan keberadaan zat Allah Yang Maha Esa. Dengan demikian, keimanan seseorang mukmin kepada Allah terhimpun dalam persepsi yang sama.
Allah berfirman :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . اللَّهُ الصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Artinya : “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan dia.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1-4)
Namun dalam kenyataannya karena berkembangnya filsafat dikalangan kaum muslimin dan sebagainya menjadikan kaum muslimin terusik untuk membicarakan perihal ketuhanan secara lebih luas melalui kedalaman ilmunya sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda (ikhtilaf) dalam sekitar pembahasan ketuhanan diantaranya mengenai Zat, sifat, dan Af”al/perbuatan Tuhan.
Dalam masalah zat Tuhan muncul pendapat yang menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat bentuk jasmani/fisik. Golongan ini disebut Mujassimah (orang-orang yang merumuskan Tuhan).
Sedangkan masalah sifat Tuhan juga muncul persoalan, apakah Tuhan itu mempunyai sifat atau tidak. Dalam hal ini muncul 2 golongan pendapat :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . اللَّهُ الصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Artinya : “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan dia.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1-4)
Namun dalam kenyataannya karena berkembangnya filsafat dikalangan kaum muslimin dan sebagainya menjadikan kaum muslimin terusik untuk membicarakan perihal ketuhanan secara lebih luas melalui kedalaman ilmunya sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda (ikhtilaf) dalam sekitar pembahasan ketuhanan diantaranya mengenai Zat, sifat, dan Af”al/perbuatan Tuhan.
Dalam masalah zat Tuhan muncul pendapat yang menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat bentuk jasmani/fisik. Golongan ini disebut Mujassimah (orang-orang yang merumuskan Tuhan).
Sedangkan masalah sifat Tuhan juga muncul persoalan, apakah Tuhan itu mempunyai sifat atau tidak. Dalam hal ini muncul 2 golongan pendapat :
·
Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
iman
kepada Malaikat ialah makhluk halus
ciptaan Allah yang terbuat dari Nur (cahaya). Mereka adalah hamba Allah yang
mulia dan selalu menuruti perintah-Nya. Malaikat tidak mempunyai nafsu dan
mereka tidak pernah mendurhakai kepada Allah dan senantiasa menjalankan
tugasnya.
Iman kepada malaikat mengandung arti bahwa seorang mukmin hendaknya
percaya sepenuhnya bahwa Allah menciptakan sejenis makhluk yang disebut
malaikat.
Tugas dan pekerjaan malaikat berbeda-beda mereka dipimpin oleh sepuluh malaikat yang wajib diketahui yakni :
a. Jibril, yaitu yang menjabat pimpinan malaikat dan menyampaikan wahyu.
b. Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia dan semua makhluk.
c. Izra’il, bertugas mencabut nyawa semua jenis makhluk.
d. Munkar, dan Nakir bertugas menanyai manusia setelah mati didalam kubur.
e. Raqib dan Atid, bertugas mencatat semua amal kebaikan dan keburukan manusia.
f. Israfil, bertugas meniup terompet pada hari kiamat dan hari kebangkitan.
g. Ridwan, bertugas menjaga surga
h. Malik, bertugas menjaga neraka
Tugas dan pekerjaan malaikat berbeda-beda mereka dipimpin oleh sepuluh malaikat yang wajib diketahui yakni :
a. Jibril, yaitu yang menjabat pimpinan malaikat dan menyampaikan wahyu.
b. Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia dan semua makhluk.
c. Izra’il, bertugas mencabut nyawa semua jenis makhluk.
d. Munkar, dan Nakir bertugas menanyai manusia setelah mati didalam kubur.
e. Raqib dan Atid, bertugas mencatat semua amal kebaikan dan keburukan manusia.
f. Israfil, bertugas meniup terompet pada hari kiamat dan hari kebangkitan.
g. Ridwan, bertugas menjaga surga
h. Malik, bertugas menjaga neraka
·
Iman kepada Kitab-Kitab
Allah
Beriman kepada kitab Allah ialah mempercayai bahwa Allah menurunkan beberapa kitab kepada para Rasul untuk menjadikan pedoman hidup manusia dalam mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat.
Kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada para rasul cukup banyak, namun yang jelas disebutkan dalam Al-Qur’an hanya empat dan wajib diketahui oleh orang Islam, yaitu:
1. Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s
2. Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s
3. Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s
4. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
Beriman kepada kitab Allah ialah mempercayai bahwa Allah menurunkan beberapa kitab kepada para Rasul untuk menjadikan pedoman hidup manusia dalam mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat.
Kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada para rasul cukup banyak, namun yang jelas disebutkan dalam Al-Qur’an hanya empat dan wajib diketahui oleh orang Islam, yaitu:
1. Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s
2. Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s
3. Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s
4. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
Permasalahan yang diikhtilafkan dalam persoalan kitab dikalanagan orang Islam ialah apakah Al-Qur’an itu Qadim (kekal) atau hadis (baru). Golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah Qadim, bukan makhluk (diciptakan). Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah tidak qadim karena Al-Qur’an itu diciptakan (makhluk).
·
Iman kepada Nabi atau
Rasul
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah ialah meyakini bahwa Allah telah memilih beberapa orang diantara manusia, memberikan wahyu kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai utusan (Rasul) untuk membimbing manusia kejalan yang benar.
Mereka diutus Allah untuk mengajarkan Tauhid, meluruskan aqidah, membimbing cara beribadah dan memperbaiki akhlak manusia yang rusak.
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah ialah meyakini bahwa Allah telah memilih beberapa orang diantara manusia, memberikan wahyu kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai utusan (Rasul) untuk membimbing manusia kejalan yang benar.
Mereka diutus Allah untuk mengajarkan Tauhid, meluruskan aqidah, membimbing cara beribadah dan memperbaiki akhlak manusia yang rusak.
Beiman kepada Rasul cukup
secara global (Ijmal) dan yang wajib diketahui ada 25 Rasul, Yaitu :
1. Nabi Adam a.s
2. Nabi Idris a.s
3. Nabi Nuh a.s
4. Nabi Hud a.s
5. Nabi Shaleh a.s
6. Nabi Ibrahim a.s
7. Nabi Luth a.s
8. Nabi Ismail a.s
9. Nabi Ishaq a.s
1. Nabi Adam a.s
2. Nabi Idris a.s
3. Nabi Nuh a.s
4. Nabi Hud a.s
5. Nabi Shaleh a.s
6. Nabi Ibrahim a.s
7. Nabi Luth a.s
8. Nabi Ismail a.s
9. Nabi Ishaq a.s
10. Nabi Ya’qub a.s
11. Nabi Yusuf a.s
12. Nabi Ayub a.s
13. Nabi Syu’aib a.s
14. Nabi Musa a.s
15. Nabi Harun a.s
16. Nabi Zulkifli a.s
17. Nabi Daud a.s
18. Nabi Sulaiman a.s
11. Nabi Yusuf a.s
12. Nabi Ayub a.s
13. Nabi Syu’aib a.s
14. Nabi Musa a.s
15. Nabi Harun a.s
16. Nabi Zulkifli a.s
17. Nabi Daud a.s
18. Nabi Sulaiman a.s
19. Nabi Ilyas a.s
20. Nabi Ilyasa’ a.s
21. Nabi Yunus a.s
22. Nabi Zakaria a.s
23. Nabi Yahya a.s
24. Nabi Isa a.s
25. Nabi Muhammad SAW
Masalah yang masih diperselisihkan dalam kaitannya dengan iman kepada para Nabi dan Rasul adalah mengenai jumlah. Hanya Allah yang mengetahui jumlahnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah seluruhnya Nabi adalah 124.000 Orang. Dari sejumlah itu yang diangkat menjadi Rasul ada 313 orang.
20. Nabi Ilyasa’ a.s
21. Nabi Yunus a.s
22. Nabi Zakaria a.s
23. Nabi Yahya a.s
24. Nabi Isa a.s
25. Nabi Muhammad SAW
Masalah yang masih diperselisihkan dalam kaitannya dengan iman kepada para Nabi dan Rasul adalah mengenai jumlah. Hanya Allah yang mengetahui jumlahnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah seluruhnya Nabi adalah 124.000 Orang. Dari sejumlah itu yang diangkat menjadi Rasul ada 313 orang.
·
Iman kepada hari Akhirat (
Hidup Sesudah Mati )
Hari kiamat (Hari Akhirat) ialah kehancuran alam semesta segala yang ada didunia ini akan musnah dan semua makhluk hidup akan mati, selanjutnya akan berganti dengan yang baru yang disebut Alam Akhirat.
Iman kepada hari kiamat berarti mempercayai akan adanya hari tersebut dan kehidupan sesudah mati serta beberap hal yang berhubungan dengan hari kiamat. Seperti kebangkitan dari kubur, Hisab (Perhitungan Amal), Sirat (Jembatan yang terbentang diatas punggung neraka), Surga dan Neraka.
Kapan hari kiamat akan datang, tidak seorangpun yang tahu dan hanya Allah saja yang mengetahui. Manusia hanya diberi tahu melalui tanda-tandanya sebelum hari kiamat tiba.
Para ulama telah sepakat dalam masalah adanya hari kiamat dan hal-hal yang terjadi didalamnya hanya saja mereka Ikhtilaf tentang apa yang akan dibangkitkan. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dibangkitkan meliputi jasmani dan rohani. ini dikeluarkan oleh golongan Ahlus Sunah Wal Jamaah. Adapun pendapat kedua yang dibangkitkan adalah rohnya saja.
Hari kiamat (Hari Akhirat) ialah kehancuran alam semesta segala yang ada didunia ini akan musnah dan semua makhluk hidup akan mati, selanjutnya akan berganti dengan yang baru yang disebut Alam Akhirat.
Iman kepada hari kiamat berarti mempercayai akan adanya hari tersebut dan kehidupan sesudah mati serta beberap hal yang berhubungan dengan hari kiamat. Seperti kebangkitan dari kubur, Hisab (Perhitungan Amal), Sirat (Jembatan yang terbentang diatas punggung neraka), Surga dan Neraka.
Kapan hari kiamat akan datang, tidak seorangpun yang tahu dan hanya Allah saja yang mengetahui. Manusia hanya diberi tahu melalui tanda-tandanya sebelum hari kiamat tiba.
Para ulama telah sepakat dalam masalah adanya hari kiamat dan hal-hal yang terjadi didalamnya hanya saja mereka Ikhtilaf tentang apa yang akan dibangkitkan. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dibangkitkan meliputi jasmani dan rohani. ini dikeluarkan oleh golongan Ahlus Sunah Wal Jamaah. Adapun pendapat kedua yang dibangkitkan adalah rohnya saja.
A.
3 Prinsip
dasar Akidah
Para ulama sering menjelaskan tiga
prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang,
barulah ia disebut muslim sejati.
Para ulama mengatakan, Islam adalah:
الاستسلام لله بالتوحيد
والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
“Berserah diri pada Allah dengan
mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri
dari syirik dan pelaku syirik.”
1.
Prinsip
pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
Yaitu
kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh
dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis
ibadah kita kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk
diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur
alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang
tidak berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?
Maksud
prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang
lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk
orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga
pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut
musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli
tauhid).
Tauhid
adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang
bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Begitu
pula Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS.
Al Bayyinah: 5).
Dalam
ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Hukum
itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang
berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja
tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan. Semua yang
disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri
mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka
mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun?
Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu
tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri
meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al
-A’rof: 191-192)
Semua
yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta
ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh
tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka,
mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat
memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)
2.
Prinsip kedua:
Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
Pokok Islam yang kedua
adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah. Dan inilah
sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan
perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap
perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang,
semata-mata hanya karena taat kepada Allah dan hanya mengharap wajah-Nya
semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan
adzab-Nya.
Kita
tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang
membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”,
sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar
dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut:
2-3)
Orang
yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya
telah menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan
Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka
sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Orang
yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka
mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman,“Sesungguhnya jawaban
orang-orang beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul
menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
Orang
yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi
tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu
diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.
3. Prinsip
ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik
Tidak cukup seseorang berprinsip dengan
dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga
harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim
adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang
musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena
prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan
membenci apa dan siapa yang Allah benci.
Demikianlah
dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam di mana beliau dan
orang-orang yang bersama beliau berlepas
diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا
بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya
kami berlepas diri daripada kamu daripada apa yang kamu sembah selain Allah.”
(QS.
Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan
mereka.
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَحْدَهُ
“Kami ingkari (kekafiran)mu dan
telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Dalam
ayat lain disebutkan pula,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan
mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”
(QS.
Al Mujadilah: 22).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا
الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu
menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan
siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (QS.
At Taubah: 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.”
(QS. Al Mumtahanah: 1).
Demikianlah tiga prinsip agar disebut
muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari
syirik dan pelaku syirik.
Semoga
Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.
Dikembangkan dari
tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah-
dalam kitab “Durus fii Syarh Nawaqidhil Islam”, terbitan Maktabah Ar
Rusyd, tahun 1425 H, hal. 14-16.
B. Klasifikasi
akidah pokok dan cabangnya
Banyak pakar yang mengkaji tentang ilmu. Ibnu
Sina, misalnya, mengklasifikasikan ilmu itu kepada tiga macam, yaitu al-ilm
al-ilahi (ilmu ketentuan atau metafisika), al-ilm al-riyadi (ilmu matematika), al-ilm
tabi’I (ilmu alam). Dalam istilah lain, Ibnu Sina menyebut ketiga ilmu
itu pula dengan al-ilm al-a’la (ilmu yang tinggi), al-ilm
al-aswat (ilmu pertengahan), dan al-ilm
al-asfal (ilmu yang rendah). Klasifikasi yang terakhir ini didasarkan atas mutu atau urgensi suatu
ilmu bagi manusia, baik yang menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat. Bagi
Ibnu Sina, terlihat bahwa ilmu metafisika atau ilmu ketuhanan lebih utama dari
ilmu lainnya, sebab persoalan ini menyangkut kewajiban manusia sebagai individu
dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak berarti, bahwa ilmu alam
dan matematika tidak penting. Klasifikasi itu hanya menunjukkan kepada struktur
atau tartib pengajaran. Ilmu ketuhanan meski didahulukan daripada ilmu lainnya,
sebab ia menyangkut dengan penanaman akidah dan keyakinan. Kemudian peringkat
kedua adalah ilmu matematika, ia didahulukan dari ilmu alam sebab matematika
merupakan alat untuk mengkaji ilmu alam. Tetapi, dalam penyusunan kurikulum
bisa saja akidah diajarkan seiring dengan ilmu alam dengan menjadikan fenomena
alam yang diperhatikan siswa sebagai media penguatan akidah.
Berbeda
dengan Ibnu Sina, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu itu kepada dua macam,
yaitu ilmu syari’ah dan ilmu ghayr al-shari’ah. Klasifikasi
ini serasi dengan pembagian yang dibuat oleh ibnu Khaldun, yang membagi ilmu
itu kepada ilmu naqal dan ilmu aqal. Yang pertama sama
dengan syari’ah dan yang terakhir sama dengan ilmu ghayr
al-shari’ah dalam kategori al-Ghazali.
Penulis
melihat, bahwa klsifikasi ini, baik al-Ghazali maupun Ibnu Khaldun, di dasarkan
atas sumber ilmu. Ilmu
tersebut ada yang bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan ada pula yang
bersumber dari alam dan fenomenanya. Ilmu yang bersumber dari wahyu disebut
dengan ilmu naqal atau syari’ah dan
ilmu yang merupakan hasil penyelidikan terhadap alam dan segala fenomenanya
disebut dengan ilmu aqal atau ghayr al-shari’ah.
Klasifikasi di atas bukan
dalam arti pengelompokkan ilmu yang saling bertentangan antara satu dengan yang
lain atau dikotomi,tetapi dalam arti pembagian berdasarkan karakteristik dan
objek kajian suatu ilmu. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka
pembelajaran,pewarisan,dan pengembangan
ilmu itu sendiri. Berdasarkan pengelompokkan tersebut,maka suatu lembaga
pendidikan menjadi mudah menentukan urutan-urutan pengajaran sesuai dengan
kepentingan masyarakat dan anak didik yang belajar padanya,dan menjadi jelas
perbedaan antara ilmu alat,sebagai teori,dan ilmu tujuan sebagai praktik bagi
kepentingan hidup manusia. Walaupun para ilmuan muslim klasik telah
mengklasifikasikan cabang-cabang ilmu tersebut,namun mereka sepakat bahwa yang
terpenting adalah semua cabang berangkat dari sumber utamanya,yaitu Allah. Maka
pembelajaran sebagai pewaris ilmu dan penelitian sebagai pengembangan ilmu
mesti diformat atas dasar keimanan dan ketaqwaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Departemen Agama RI
Andul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, tt
Drs. H. abdul Ahmadi, Dosa dalam Islam, Rineka cipta, Jakarta, 1991.
Syaikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, Mizan, Bandung, 1996
Munawir Akhmad Warson, Kamus Al-Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997.
Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah, Gema Insani press, Jakarta, 1994, hal. 67-68.
Muhammad bin Husain Al-Jizani, Bid’ah, http://almanhaj.or.id/index, tt
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Departemen Agama RI
Andul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, tt
Drs. H. abdul Ahmadi, Dosa dalam Islam, Rineka cipta, Jakarta, 1991.
Syaikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, Mizan, Bandung, 1996
Munawir Akhmad Warson, Kamus Al-Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997.
Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah, Gema Insani press, Jakarta, 1994, hal. 67-68.
Muhammad bin Husain Al-Jizani, Bid’ah, http://almanhaj.or.id/index, tt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar