Jumat, 05 Februari 2016

AKIDAH POKOK DAN CABANGNYA

AKIDAH POKOK DAN CABANGNYA

·         Pengertian Akidah Pokok dan cabangnya
Yang dimaksud akidah pokok adalah Akidah umat Islam pada masa Nabi dan masa khalifah Abu Bakar As-Sidik dan Umar bin Khattab persoalan akidah masih dapat  dipertahankan yaitu disebut Rukun Iman yang mencakup 6 aspek dalam pembahasan ini disebut dengan akidah Pokok yaitu sebagai berikut :
·         Iman Kepada Allah
Inti pokok dalam ajaran Islam dalam al-Qur'an adalah akidah. sedangkan inti dari akidah adalah tauhid yakni keyakinan bahwa Allah SWT. Maha Esa, tidak ada Tuhan selain-Nya.
Dalam rukun Iman, percaya kepada Allah atau iman kepada Allah menempati urutan pertama. Yang dimaksud iman kepada Allah ialah percaya sepenuhnya, tanpa keraguan sedikitpun, akan adanya Allah SWT. Yang maha Esa dan Maha Sempurna, baik Zat, sifat maupun Af'al-Nya. Keyakinan ini membawa seseorang kepada kepercayaan akan adanya para malaikat, kitab-kitab, para Rasul atau Nabi, adanya hari kiamat dan kepercayaan tentang takdir.

Allah telah mensifati diri-Nya dalam Al-Qur'an dengan lafal-lafal yang pada asalnya untuk mengindikasikan makna-makna bumi dan pengertian-pengertian manusia, sekalipun Allah itu tidak bisa diserupai oleh sesuatu pun. Adapun sifat-sifat Allah SWT terdapat 20 yang wajib dan 20 yang muhal bagim Allah serta  1 yang jaiz bagi Allah. Sifat-sifat yang wajib bagi Allah SWT adalah:

1.        Ada (Al-Wujud)
2.        Dahulu (Al-Qidam)
3.        Kekal (Al-Baqa')
4.        Berbeda dengan Mahluk Lain (Al-Mukhaalafatuhu lil Hawaadits)
5.        Ada dengan sendirinya (Al-Qiyaamuhu bi Nafsihi)
6.        Maha Esa/Tunggal (Al-Wahdaniyah)
7.        Mahakuasa (
القدرة)
8.        Maha Berkehendak (
الإرادة)
9.        Maha Mengetahui (
العلم)
10.    Mahahidup (
الحياة)
11.    Maha Mendengar (
السمع)
12.    Maha Melihat (
البصر)
13.    Allah Maha Berkata (Al-Kalam)
14.    Keadaan-Nya Maha Kuasa (Kaunuhu Qadiran)
15.    Keadaan-Nya Maha Berkehendak (Kaunuhu Muridan)
16.    Keadaan-Nya Maha Mengetahui (Kaunuhu 'Aliman)
17.    Keadaan-Nya Mahahidup (Kaunuhu Hayyan)
18.    Keadaan-Nya Maha Mendengar (Kaunuhu Sami'an)
19.    Keadaan-Nya Maha Melihat (Kaunuhu Bashiran)
20.    Keadan-Nya Maha Berbicara (Kaunuhu Mutakalliman)

Dalam mengenal Allah SWT, manusia hanya mampu sampai batas memgetahui bahwa zat Tuhan Yang Maha Esa itu ada (wujud)” Tidak lebih dari itu. Untuk lebih lanjut manusia memerlukan wahyu sebagai petunjuk dari Tuhan. Sebab itulah, Tuhan mengutus para Rasul atau Nabi-Nya untuk menjelaskan apa dan bagaimana Tuhan itu dengan petunjuk wahyu.
Meskipun demikian,Nabi hanya menjelaskan bentuk sifat-sifat Allah yang maha kuasa dengan bukti keberadaan,keesaan,dan kekuasaan-Nya. Nabi sendiri dalam salah satu hadisnya menyatakan tidak diperkenankan-Nya memikirkan zat Allah,sebab tidak akan mencapai hakikat yang sebenarnya. Seorang mukmin hanya perlu berpikir mengenai apa yang telah diciptakan-Nya dan menghayati sepenuhnya akan keberadaan zat Allah Yang Maha Esa. Dengan demikian, keimanan seseorang mukmin kepada Allah terhimpun dalam persepsi yang sama
.

Allah berfirman :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . اللَّهُ الصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Artinya : “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan dia.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1-4)
Namun dalam kenyataannya karena berkembangnya filsafat dikalangan kaum muslimin dan sebagainya menjadikan kaum muslimin terusik untuk membicarakan perihal ketuhanan secara lebih luas melalui kedalaman ilmunya sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda (ikhtilaf) dalam sekitar pembahasan ketuhanan diantaranya mengenai Zat, sifat, dan Af”al/perbuatan Tuhan.
Dalam masalah zat Tuhan muncul pendapat yang menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat bentuk jasmani/fisik. Golongan ini disebut Mujassimah (orang-orang yang merumuskan Tuhan).

Sedangkan masalah sifat Tuhan juga muncul persoalan, apakah Tuhan itu mempunyai sifat atau tidak. Dalam hal ini muncul 2 golongan pendapat :

·         Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
iman kepada Malaikat ialah makhluk halus ciptaan Allah yang terbuat dari Nur (cahaya). Mereka adalah hamba Allah yang mulia dan selalu menuruti perintah-Nya. Malaikat tidak mempunyai nafsu dan mereka tidak pernah mendurhakai kepada Allah dan senantiasa menjalankan tugasnya.
Iman kepada malaikat mengandung arti bahwa seorang mukmin hendaknya percaya sepenuhnya bahwa Allah menciptakan sejenis makhluk yang disebut malaikat.
Tugas dan pekerjaan malaikat berbeda-beda mereka dipimpin oleh sepuluh malaikat yang wajib diketahui yakni :

a.    
Jibril, yaitu yang menjabat pimpinan malaikat dan menyampaikan wahyu.
b.    Mikail
, bertugas mengatur kesejahteraan manusia dan semua makhluk.
c.   Izra’il
, bertugas mencabut nyawa semua jenis makhluk.
d.   Munkar
, dan Nakir bertugas menanyai manusia setelah mati didalam kubur.
e.   Raqib dan Atid
, bertugas mencatat semua amal kebaikan dan keburukan manusia.
f.    Israfil
, bertugas meniup terompet pada hari kiamat dan hari kebangkitan.
g.   Ridwan
, bertugas menjaga surga
h.   Malik
, bertugas menjaga neraka

·         Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Beriman kepada kitab Allah ialah mempercayai bahwa Allah menurunkan beberapa kitab kepada para Rasul untuk menjadikan pedoman hidup manusia dalam mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat.
Kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada para rasul cukup banyak, namun yang jelas disebutkan dalam Al-Qur’an hanya empat dan wajib diketahui oleh orang Islam, yaitu:
1. Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s
2. Zabur diturunkan kepada Nabi Daud a.s
3. Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s
4. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

Permasalahan yang diikhtilafkan dalam persoalan kitab dikalanagan orang Islam ialah apakah Al-Qur’an itu Qadim (kekal) atau hadis (baru).
Golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah Qadim, bukan makhluk (diciptakan). Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah tidak qadim karena Al-Qur’an itu diciptakan (makhluk).

·         Iman kepada Nabi atau Rasul
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah ialah meyakini bahwa Allah telah memilih beberapa orang diantara manusia, memberikan wahyu kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai utusan (Rasul) untuk membimbing manusia kejalan yang benar.
Mereka diutus Allah untuk mengajarkan Tauhid, meluruskan aqidah, membimbing cara beribadah dan memperbaiki akhlak manusia yang rusak.
Beiman kepada Rasul cukup secara global (Ijmal) dan yang wajib diketahui ada 25 Rasul, Yaitu :

1.   Nabi Adam a.s
2.    Nabi Idris a.s
3.    Nabi Nuh a.s
4.     Nabi Hud a.s
5.     Nabi Shaleh a.s
6.     Nabi Ibrahim a.s
7.     Nabi Luth a.s
8.     Nabi Ismail a.s
9.     Nabi Ishaq a.s
10.   Nabi Ya’qub a.s
11.   Nabi Yusuf a.s
12.   Nabi Ayub a.s
13.   Nabi Syu’aib a.s
14.   Nabi Musa a.s
15.   Nabi Harun a.s
16.   Nabi Zulkifli a.s
17.   
Nabi Daud a.s
18.   Nabi Sulaiman a.s
19.  Nabi Ilyas a.s
20.   Nabi Ilyasa’ a.s
21.   Nabi Yunus a.s
22.   Nabi Zakaria a.s
23.   Nabi Yahya a.s
24.   Nabi Isa a.s
25.   Nabi Muhammad SAW

Masalah yang masih diperselisihkan dalam kaitannya dengan iman kepada para Nabi dan Rasul adalah mengenai jumlah.
Hanya Allah yang mengetahui jumlahnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah seluruhnya Nabi adalah 124.000  Orang. Dari sejumlah itu yang diangkat menjadi Rasul ada 313 orang.

·         Iman kepada hari Akhirat ( Hidup Sesudah Mati )
Hari kiamat (Hari Akhirat) ialah kehancuran alam semesta segala yang ada didunia ini akan musnah dan semua makhluk hidup akan mati, selanjutnya akan berganti dengan yang baru yang disebut Alam Akhirat.
Iman kepada hari kiamat berarti mempercayai akan adanya hari tersebut dan kehidupan sesudah mati serta beberap hal yang berhubungan dengan hari kiamat. Seperti kebangkitan dari kubur, Hisab (Perhitungan Amal), Sirat (Jembatan yang terbentang diatas punggung neraka), Surga dan Neraka.
Kapan hari kiamat akan datang, tidak seorangpun yang tahu dan hanya Allah saja yang mengetahui. Manusia hanya diberi tahu melalui tanda-tandanya sebelum hari kiamat tiba.

Para ulama telah sepakat dalam masalah adanya hari kiamat dan hal-hal yang terjadi didalamnya hanya saja mereka Ikhtilaf tentang apa yang akan dibangkitkan. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dibangkitkan meliputi jasmani dan rohani. ini dikeluarkan oleh golongan Ahlus Sunah Wal Jamaah. Adapun pendapat kedua yang dibangkitkan adalah rohnya saja.

A.      3 Prinsip dasar Akidah
Para ulama sering menjelaskan tiga prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati.
Para ulama mengatakan, Islam adalah:
الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.

1.     Prinsip pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?
Maksud prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Dalam ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan. Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)
Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

2.     Prinsip kedua: Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Allah dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.
Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)
Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman,“Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
Orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.

3.     Prinsip ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik
Tidak cukup seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.
Demikianlah dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam di mana beliau dan orang-orang yang bersama beliau berlepas diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu daripada apa yang kamu sembah selain Allah.(QS. Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka.

كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Dalam ayat lain disebutkan pula,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.(QS. Al Mujadilah: 22).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Demikianlah tiga prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.
Dikembangkan dari tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- dalam kitab “Durus fii Syarh Nawaqidhil Islam”, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1425 H, hal. 14-16.
                                                                                                                      
B.     Klasifikasi akidah pokok dan cabangnya
Banyak pakar yang mengkaji tentang ilmu. Ibnu Sina, misalnya, mengklasifikasikan ilmu itu kepada tiga macam, yaitu al-ilm al-ilahi (ilmu ketentuan atau metafisika),  al-ilm al-riyadi (ilmu matematika), al-ilm tabi’I (ilmu alam). Dalam istilah lain, Ibnu Sina menyebut ketiga ilmu itu pula dengan  al-ilm al-a’la (ilmu yang tinggi), al-ilm al-aswat (ilmu pertengahan), dan al-ilm al-asfal (ilmu yang rendah). Klasifikasi yang terakhir ini didasarkan atas mutu atau urgensi suatu ilmu bagi manusia, baik yang menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat. Bagi Ibnu Sina, terlihat bahwa ilmu metafisika atau ilmu ketuhanan lebih utama dari ilmu lainnya, sebab persoalan ini menyangkut kewajiban manusia sebagai individu dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak berarti, bahwa ilmu alam dan matematika tidak penting. Klasifikasi itu hanya menunjukkan kepada struktur atau tartib pengajaran. Ilmu ketuhanan meski didahulukan daripada ilmu lainnya, sebab ia menyangkut dengan penanaman akidah dan keyakinan. Kemudian peringkat kedua adalah ilmu matematika, ia didahulukan dari ilmu alam sebab matematika merupakan alat untuk mengkaji ilmu alam. Tetapi, dalam penyusunan kurikulum bisa saja akidah diajarkan seiring dengan ilmu alam dengan menjadikan fenomena alam yang diperhatikan siswa sebagai media penguatan akidah.
Berbeda dengan Ibnu Sina, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu itu kepada dua macam, yaitu ilmu syari’ah dan ilmu ghayr al-shari’ah. Klasifikasi ini serasi dengan pembagian yang dibuat oleh ibnu Khaldun, yang membagi ilmu itu kepada ilmu naqal dan ilmu aqal. Yang pertama sama dengan syari’ah dan yang terakhir sama dengan ilmu ghayr al-shari’ah dalam kategori al-Ghazali.
Penulis melihat, bahwa klsifikasi ini, baik al-Ghazali maupun Ibnu Khaldun, di dasarkan atas sumber ilmu. Ilmu tersebut ada yang bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan ada pula yang bersumber dari alam dan fenomenanya. Ilmu yang bersumber dari wahyu disebut dengan ilmu naqal  atau syari’ah dan ilmu yang merupakan hasil penyelidikan terhadap alam dan segala fenomenanya disebut dengan ilmu aqal atau ghayr al-shari’ah.
Klasifikasi di atas bukan dalam arti pengelompokkan ilmu yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain atau dikotomi,tetapi dalam arti pembagian berdasarkan karakteristik dan objek kajian suatu ilmu. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka pembelajaran,pewarisan,dan pengembangan ilmu itu sendiri. Berdasarkan pengelompokkan tersebut,maka suatu lembaga pendidikan menjadi mudah menentukan urutan-urutan pengajaran sesuai dengan kepentingan masyarakat dan anak didik yang belajar padanya,dan menjadi jelas perbedaan antara ilmu alat,sebagai teori,dan ilmu tujuan sebagai praktik bagi kepentingan hidup manusia. Walaupun para ilmuan muslim klasik telah mengklasifikasikan cabang-cabang ilmu tersebut,namun mereka sepakat bahwa yang terpenting adalah semua cabang berangkat dari sumber utamanya,yaitu Allah. Maka pembelajaran sebagai pewaris ilmu dan penelitian sebagai pengembangan ilmu mesti diformat atas dasar keimanan dan ketaqwaan.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Departemen Agama RI

Andul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, tt

Drs. H. abdul Ahmadi, Dosa dalam Islam, Rineka cipta, Jakarta, 1991.

Syaikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, Mizan, Bandung, 1996

Munawir Akhmad Warson, Kamus Al-Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997.

Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah, Gema Insani press, Jakarta, 1994, hal. 67-68.

Muhammad bin Husain Al-Jizani, Bid’ah, http://almanhaj.or.id/index, tt



Tidak ada komentar:

Posting Komentar